Kamis, 14 Januari 2016
Cerita dari Kimaam
Secuil
Asa dari Kimaam
“Dari sabang sampai merauke, berjajar
pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu, itulah
Indonesia”. Penggalan lagu itu, siapa yang tidak tahu? Sebuah lagu yang bahkan
kita nyanyikan saat kita masih duduk di bangku sekolah dasar. Yap, saat ini aku berada di salah satu
kabupaten yang sangat terkenal melalui lagu tersebut yaitu merauke.
Melalui SM3T, sebuah program dari Dikti
yang memiliki slogan Maju Bersama
Mencerdaskan Indonesia mengantarkanku menjadi salah satu bagian dari para
pejuang pendidikan di negeri ini. Mengabdikan diri di ujung timur Indonesia, yang bahkan tidak
pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Di
sebuah kabupaten yang memiliki salah satu tugu yang hanya ada dua di Indonesia
yaitu tugu kembar Sabang-Merauke. Kabupaten yang terkenal dengan Izakod Bekai
Izakod Kai yang artinya Satu Hati Satu Tujuan.
Perkenalkan
namaku Uswatun Khasanah, seorang anak yang lahir di sebuah desa bernama Desa Tanjung Anom yang terletak di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Sebuah desa yang menurutku memiliki beberapa
persamaan sekaligus perbedaan dengan kampung dimana saat ini aku mengabdi.
Untuk satu tahun ini aku mengabdi di
sebuah Kampung Kimaam yang berada di Distrik Kimaam yang terletak di sebuah
pulau bernama Yos Sudarso, Kabupaten Merauke. Tepatnya disebuah sekolah Yayasan
Katolik bernama SMP YPPK Santo Kizito Kimaam. Anak desa mengabdi di kampung. Sekilas
mungkin akan terdengar mudah, tapi kenyataannya tidak semudah itu. Memang benar
ada beberapa persamaan yang aku dapatkan dari desaku dengan kampung Kimaam.
Namun itu jika dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di
tempatku berpuluh tahun yang lalu. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di kampung
Kimaam menurutku masih sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan
kenyataan bahwa Indonesia sudah merdeka sejak 70 tahun yang lalu.
Berdasarkan
pengamatanku selama 4 bulan mengabdi di kampung Kimaam, aku melihat hampir
seluruh masyarakat pribumi, masih menganut sistem cari makan hari ini untuk
hari ini, besok cari lagi. Dapat uang hari ini, habis hari ini, besok urusan
lain lagi. Padahal secara geografis tidaklah sulit ketika masyarakat memiliki
kesadaran untuk bercocok tanam karena tanah hitam merauke itu sangatlah subur.
Dan aku sudah membuktikannya sendiri. Ketika kami kesulitan sayur dan memutuskan
untuk bercocok tanam sendiri,tanpa pupuk sedikitpun kita bisa memanen sawi yang
tumbuh dengan baik. Meskipun memang kita harus menyiram tanaman setiap hari
dengan menimba dari sumur. Bisa juga dikatakan, jika tidak ada niat yang kuat untuk mencicipi
hasil tanaman, tidak akan bisa menikmati sayur hasil tanam sendiri. Air memang menjadi masalah krusial bagi
masyarakat di Kampung Kimaam. Adanya proyek air bersih yang tak
kunjung selesai menambah lamanya penderitaan masyarakat terkait permasalahan
air. Para warga biasa untuk berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk mengantri di sumur-sumur yang menghasilkan air tawar
yang layak konsumsi. Karena kebanyakan sumur disana menghasilkan air yang keruh
dan berwarna kekuningan seperti berkarat. Untukku yang sudah terbiasa hidup
dengan air bening melimpah di Bengkulu, sangat berat di awal untuk menyesuaikan
diri dengan hal ini. Apalagi selain harus menimba dan mengangkut air dengan
jarak yang lumayan jauh, air yng sudah ditimba harus kita saring lagi agar
layak untuk kita gunakan.
Kebun Sawiku |
Rendahnya
kesadaran masyarakat untuk memperbaiki kondisi ekonomisebenarnya sangat
disayangkan. Karena Kimaam
berada di sebuah pulau yang memerlukan waktu hingga 18 jam perjalanan dengan
kapal, otomatis semua harga komoditas bahan makanan dan lain-lain yang perlu
didatangkan dari luar pulau menjadi amat sangat mahal. Bahkan hingga mencapai 3
sampai 5 kali lipat jika dibandingkan dengan harga di jawa. Padahal, hampir
semua barang didatangkan dari luar pulau. Secara langsung hal ini juga membawa
dampak langsung bagiku yang terbiasa dengan harga-harga normal. Bayangkan saja jika biasa kita membeli tahu
10 ribu rupiah sudah bisa membawa pulang 1 kantong kresek, kalau di Kimaam kita
hanya akan dapat 3 potong tahu. Kangkung, bayam dan sayuran lainnya yang
biasanya seikat seribu rupiah atau paling mahal dua ribu kalau di Kimaam
menjadi lima ribu rupiah.Jika saja mahal tapi mudah didapat itu masih jauh
lebih baik, yang menjadi kendala adalah, sudah harganya mahal, susah pula
ditemui. Itu hanya beberapa gambaran saja mengenai harga-harga bahan makanan
yang memang hampir setiap hari kita konsumsi. Begitu juga dengan kebutuhan
lainnya yang tentunya kita akan mengeluarkan biaya 2-3 kali lipat dari biaya
hidup di Jawa. Bahkan bagiku,yang sejak lama tinggal di daerah yang memiliki
biaya hidup diatas normal nya biaya hidup di Jawa, masih merasakan bahwa hidup di
Merauke terutama di kampung Kimaam jauh lebih tinggi dan berat.
Kondisi
sosial masyarakat Kampung Kimaam juga masih tergolong lemah. Masih sering
kita jumpai dan bahkan hampir selalu seperti itu, ketika masyarakat memiliki
masalah akan diselesaikan dengan cara kekerasan. Jangan heran jika suatau hari
kita menemui ada anak panah melayang di udara. Atau kita melihat orang
mangacung-acungkan parang di jalanan. Ya begitulah, tapi untuk saat ini hal itu
masih amat sangat terkendali setelah adanya para TNI atau dikenal denga sebutan
Yallet yang selalu bersiaga di kampung Kimaam. Namun memang diharapan untuk
tidak keluar rumah lebih dari jam 9 malam. Karena di khawatirkan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi, safety first harus selalu menjadi
patokan.
Suasana belajar di kelas |
Dengan
kondisi ekonomi dan sosial yang seperti itu mau tidak mau membawa dampak pula
ke bidang pengabdianku yaitu bidang pendidikan. Anak-anak marine memang sangat
berbeda dari anak lainnya, kondisi alam yang berbeda dan pendidikan keluarga
yang jauh berbeda dengan anak-anak dari Jawa akan menjadi sensasi tersendiri
bagi siapa saja untuk mendidik mereka. Di sekolah aku mengampu dua mata
pelajaran sekaligus, B.Inggris untuk kelas VIII yang sesuai dengan bidangku dan
TIK untuk semua kelas karena memang
belum ada guru mata pelajaran TIK. Aku yang di awal sangat idealis untuk
menerapkan banyak standar yang sesuai dengan kurikulum, sesuai dengan standar
kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa SMP, menjadi sangat shock saat
menemukan beberapa muridku yang notabene sudah SMP tapi belum lancar atau
beberapa bahkan belum bisa membaca dan menulis. Di pelajaran bahasa Inggris contohnya, di awal
aku mengajarkan mengenai subyek dan tobe “is, am, are” yang sesuai dengan silabus harus
diajarkan, dari 25 siswa dikelas, yang bisa mengikuti pelajaran sepertinya
tidak lebih dai 3 anak. Padahal sudah disederhanakan dengan menggunakan lagu. Itupun anak yang paling pintar dikelas. Di
pelajaran TIK pun demikian, dari beberapa pertemuan materi yang di ajarkan
adalah tentang microsoft word. Karena aku merasa sudah di jelaskan berulang
kali dan sudah memastikan siswa memiliki catatan. Pada saat aku memberikan
kuis, ada satu jawaban unik dari siswa yang tidak mungkin aku lupakan seumur
hidupku. Pertanyaannya; bagaimana cara menutup program Microsoft word?.
Jawaban; saya menutup makanan karena takut lalat. Saat itu aku benar-benar
sadar bahwa siswaku berbeda, tidak bisa aku menyamakan metode mengajar dengan
ketika aku di Bengkulu dulu, atau ketika aku mengajar di Jawa. Muridku adalah
murid-murid unik yang juga memerlukan sistem pembelajaran yang unik. Tidak bisa
di samakan dengan siswa-siswi yang ada di luar pulau Yos Sudarso apalagi di
Jawa.Tidak perlu menyalahkan siapapun, tidak perlu memaksakan apapun. Untuk
mereka saat ini aku berprinsip, memberi sedikit dan dapat diterima dengan baik
jauh lebih berarti dari pada memberi banyak namun tidak meninggalkan bekas
apa-apa.
Untuk
inilah aku disini, untuk inilah aku mengabdi. Untuk para mutiara hitam di ujung
timur negeri. Dengan semua sisi lain pengabdian yang akan menjadi cerita
tersendiri untuk anak cucuku nanti.
Tersisa delapan bulan yang harus dijalani. Tetap mengabdi untuk negeri, salam MBMI...!!